SAYA. BUKU. HIDUPKU

krisna suryadanuaji

Sebagai anak yang dilahirkan dari keluarga prajurit, buku pernah menjadi barang mewah bagi saya. Kami harus
mendahulukan kebutuhan perut dibandingkan buku. Untunglah, biar hidup pas-pasan, Ibu menjadikan koran
dan buku sebagai salah satu bentuk rekreasi. Membaca koran terasa seperti bertemu oase—dan tak putus-putusnya saya kagumi keajaiban membaca: bagaimana huruf demi huruf itu membentuk rangkaian kata, kalimat, pada akhirnya gagasan, dan sebuah cerita pun terbentang di hadapan saya! Dengan cara ini, Ibu menanamkan gagasan bahwa membaca itu bukan cuma penting, tapi juga menghibur!

Saya tidak menyangka kalau akhirnya perjalanan hidup menghantarkan saya pada Mizan, sekitar … tahun silam. Saya juga tak menduga kalau ternyata, saya begitu betah bersama Mizan/Bentang, berurusan dengan buku, penjualan buku, promosi buku, bahkan produksi buku!
Ada banyak esei yang ditulis orang tentang buku. Bagaimana buku menjadi perekam kenangan indah, bagaimana buku adalah bagian dari kenangan itu sendiri. Bagaimana buku menjadi indikator peradaban. Bagaimana buku menjadi sahabat siapa saja. Bagaimana buku menjadi anarki yang berbahaya. Bagaimana buku mengungkap kebenaran. Bagaimana buku menjadi saksi peristiwa. Buku dicinta, dipuja, dimusuhi, dicaci, dibakar, disensor… buku tidak sekadar merekam peristiwa, buku adalah peristiwa itu sendiri.

Perjumpaan dengan buku menghadirkan berbagai episode unik dalam hidup saya. Buku mengingatkan saya pada harapan-harapan yang –ehm—sampai sekarang tidak tercapai. Begitulah ceritanya ketika saya menghadiahkan buku resep masakan Chinese Food dan Western Food pada calon istri saya, yang sekarang sudah jadi ibu anak-anak saya. Sampai sekarang
buku-buku resep masakan itu tersimpan rapi, dan istri saya yang tak juga hilang tomboinya itu tetap lebih suka berkutat di depan laptop daripada memegang panci dan menyalakan kompor. Perjumpaan dengan buku lainnya melambungkan harapan di luar perkiraan. Inilah cerita Laskar Pelangi yang fenomenal itu. Ada sebuah buku yang bikin saya penasaran dan membuat fantasi saya tak pernah surut: Gabriel Garcia Marquez dalam Seratus Tahun Kesunyian. Buku lain membuat saya menyumpah-nyumpah—tentu bukan salah bukunya, tapi penulisnya… Ah, tak usahlah disebut-sebut di sini. Tapi, kalau saya pikir-pikir, membaca riwayat saya ternyata nyaris sama saja dengan membaca buku-buku yang pernah saya baca.

Tidak semua buku memang betul-betul bagus, atau ditulis dengan niat ikhlas untuk berbagi. Tapi, sekian tahun bergelut dalam industri perbukuan mengajarkan saya bahwa setiap karya, setiap buku, harus dihargai. Menulis itu gampang, kata Arswendo Atmowiloto. Kenyataannya, mencari penulis itu sulit sekali. Apalagi penulis yang betul-betul tahu apa yang akan ditulisnya, serta bagaimana mengomunikasikannya. Industri buku pada dasarnya bisnis gagasan—bisnis ide. Bendanya tidak kongkret, dan pasarnya baru ada atau tercipta ketika terbentuk komunitas yang merasa
membutuhkannya. Sekian banyak buku beredar di pasaran, banyak yang tidak laku. Bukan sekadar masalah kemasan atau isi. Tapi juga karena gagasan yang ‘dijual’ tidak diminati. Karena itu, ke sini-sini, saya belajar bahwa mengurus penerbitan dan industri buku bukan hanya terpaku pada ‘fisik buku’ semata. Ada banyak hal yang harus dibangun dan dipelihara: ruang, atmosfer,gagasan atau isi buku, penulis, dan tentunya, yang tak kalah penting: komunitas terbukuan. Buku juga harus diperlakukan seperti artis-selebritis: buku tidak hanya dipublikasikan, tapi juga mesti diurus publisitasnya. Manakala saya jenuh berhadapan dengan angka-angka penjualan, saya merasa mendapat suntikan darah segar ketika mendapatkan tantangan bagaimana mempublikasikan buku sekaligus menjadi publicist bagi buku-buku yang menurut saya sangat layak untuk diapresiasi. Saya kira, ini alasan yang sangat logis dan rasional mengapa dunia perbukuan semakin hari justru tampak semakin menggairahkan—sehingga menyemangati saya untuk tetap berkutat di dalamnya.
Tapi, masih ada saja yang tidak puas dengan penjelasan ini. Bagi mereka, tetap harus ada alasan yang lebih kuat kenapa saya mau mengumpulkan rupiah demi rupiah dari menjual buku—dan bukannya dari jualan barang lain yang keuntungannya seperti meteor, berlipat-lipat banyaknya.

Baiklah, ini adalah alasan emosional (kita selalu bisa menemukan alasan untuk jatuh cinta, bukankah begitu?) Di antara sekian banyak alasan yang nggak jelas buat orang lain, saya mau berbagi dua sumber inspirasi saya. Pertama, film You’ve Got Mail (1998) yang dibintangi oleh Tom Hanks dan Meg Ryan. Film komedi romantis biasa saja sih. Tapi film ini mengambil setting buku, toko buku, dan perpustakaan. Sangat menarik melihat industri kapitalis buku besar bertarung dengan toko buku mungil warisan

turun-temurun yang menspesialisasikan diri pada buku anak-anak, ditingkah bumbu roman cinta yang manis. Saya membayangkan berada di dalam setting film itu bersama Tom Hanks dan Meg Ryan, eksis menjadi martir di tengah proyek menyelamatkan toko buku kecil dari sergapan kapitalis besar, sambil membaui aroma buku loak dan kertas kuno yang harum... Kedua, film Serendipity (2001). Film itu sungguh menarik karena misteri yang memisahkan dan menyatukan kedua insan yang dimabuk cinta (diperankan sangat baik oleh Jon Cusack dan Kate Beckinsale) berkisar pada sebuah buku: Love in the Times of Cholera, karya Gabriel Garcia Marquez.

Film-film yang saya sebutkan ini memang cerita cinta, untuk orang yang jatuh cinta, dan percaya bahwa cinta itu magic. Buat saya, lebih dari itu. Inilah film-film yang menceritakan keajaiban yang bermula dari buku. Dan seperti mereka, saya percaya, dalam setiap buku terkandung keajaiban. Saya ingin menyebarkannya kepada siapa saja—untuk mendapatkan keajaiban itu.

1 Response to "SAYA. BUKU. HIDUPKU"

Ketentuan berkomentar :

- Dilarang menautkan link aktif maupun mempastekan link mati, karena komentar yang disertai promosi URL tidak akan pernah tampilkan

- Dilarang berkomentar yang Di Luar Topik (OOT), promosi, dan komentar-komentar yang anda tidak suka jika hal itu terjadi di blog anda sendiri, karena komentar seperti itu tidak akan pernah ditampilkan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel