Generasi Pasca Chicklit,So What Gitu Loh!
Friday, May 30, 2008
1 Comment
Trend dunia perbukuan kita kurun tiga tahun terakhir ini disesaki oleh maraknya penerbitan karya-karya sastra pop yang lahir dari para penulis muda berbakat. Terbitnya buku-buku chicklitteenlit memberi angin segar atas kekosongan buku-buku untuk para pembaca pemula (remaja). Trend ini tentunya dapat dipahami sebagai kecenderungan positif bagaimana kalangan perbukuan, di luar kehendak bisnisnya, masih menyisakan komitmen sosial yang tinggi untuk mengembangkan dunia tulis-menulis, khususnya di kalangan anak-anak muda. Buku-buku pop seperti disebut, barangkali mampu memberi inspirasi atau pancingan untuk anak-anak remaja “belajar” menulis.
Sebagaimana lazimnya budaya pop, trend ini pun pada akhirnya akan redup seiring dengan munculnya trend lain yang sengaja atau tidak diciptakan terus-menerus. Nah, ke mana nantinya penulis-penulis muda itu nantinya akan berlari? Tetap konsisten pada pilihan menulis karya sastra pop akan terbentur pada persoalan semakin keringnya lahan garapan. Pasar pun mulai memperlihatkan kepentingannya yang lain, dan lambat laun mulai mencari trend lain yang dianggap lebih prospektif. Tantangan ini mau tidak mau akan dihadapi para penulis muda tadi, yang telah terbiasa menulis novel-novel ringan.
Rasanya, kita perlu mendiskusikan mulai melemahnya daya respons remaja atas kehadiran buku-buku pop di atas. Bukan hanya disebabkan oleh kenyataan bahwa tema-tema sastra pop remaja tak lebih dari potret kehidupan yang itu-itu saja: cinta, petualangan, dan seabrek dunia khas remaja lainnya. Remaja-remaja kita barangkali membutuhkan tema-tema lain pasca trend sastra pop ini.
Dalam pandangan penulis, ini merupakan tantangan. Bukan hanya untuk para penulis yang telah dibe-sarkan (dan mungkin pula cepat dilupakan orang) oleh trend ini (baca: budaya pop), tapi sekaligus penerbit. Bagaimanapun juga, penerbit bertanggung jawab untuk memikirkan so what yang bisa dilakukan para penulis sastra pop pasca trend novel-novel sebagaimana disebut di atas. Mereka semua toh kebanyakan adalah anak-anak muda yang punya energi berlebih dari sekadar menulis novel-novel yang kering kedalaman.
Barangkali perlu dipikirkan untuk memulai mengembangkan penerbitan buku-buku yang lebih serius, dan jauh mengakar pada sejarah dan keanekaragaman kita sendiri. Atau, mulai memikirkan bagaimana mengajak penulis novel-novel remaja, misalnya, untuk mengembangkan suatu jenis karya sastra yang berangkat dari sejarah lokal kita sendiri. Dalam hal ini, misalnya, Lingkar Tanah Lingkar Air dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dapat dijadikan contoh.
Atau alternatif lain: mengem-bangkan sebuah novel yang sedikit lebih serius dan tematik, baik dari aspek plot penceritaannya maupun materi cerita itu sendiri. Novel Tapak Sabda karya Fauz Noor dalam hal ini dapat dijadikan contoh. Tentunya, keberhasilan atas eksperimen ini bukan hanya akan melegendakan si penulisnya sendiri. Lebih dari itu, agar tradisi kepenulisan kesusastraan Indonesia, sebagaimana yang telah ditunjukkan di masa lalu, tidak terputus begitu saja.
Generasi muda kini memang punya banyak pilihan. Karena itu, alangkah bagusnya bila talenta yang telah mereka miliki dikembangkan lebih jauh lagi untuk menulis karya-karya yang lebih serius. Awalnya tentu saja tidak mudah buat mereka. Selain karena menulis serius memakan ener-gi dan waktu yang tak sedikit, juga butuh biaya dan ketekunan. Tapi tak mudah bukan berarti tak bisa. Mereka pasti bisa, asal terus berlatih dan memperkaya wawasan. Dan kami sebagai penerbit memiliki komitmen k
Sebagaimana lazimnya budaya pop, trend ini pun pada akhirnya akan redup seiring dengan munculnya trend lain yang sengaja atau tidak diciptakan terus-menerus. Nah, ke mana nantinya penulis-penulis muda itu nantinya akan berlari? Tetap konsisten pada pilihan menulis karya sastra pop akan terbentur pada persoalan semakin keringnya lahan garapan. Pasar pun mulai memperlihatkan kepentingannya yang lain, dan lambat laun mulai mencari trend lain yang dianggap lebih prospektif. Tantangan ini mau tidak mau akan dihadapi para penulis muda tadi, yang telah terbiasa menulis novel-novel ringan.
Rasanya, kita perlu mendiskusikan mulai melemahnya daya respons remaja atas kehadiran buku-buku pop di atas. Bukan hanya disebabkan oleh kenyataan bahwa tema-tema sastra pop remaja tak lebih dari potret kehidupan yang itu-itu saja: cinta, petualangan, dan seabrek dunia khas remaja lainnya. Remaja-remaja kita barangkali membutuhkan tema-tema lain pasca trend sastra pop ini.
Dalam pandangan penulis, ini merupakan tantangan. Bukan hanya untuk para penulis yang telah dibe-sarkan (dan mungkin pula cepat dilupakan orang) oleh trend ini (baca: budaya pop), tapi sekaligus penerbit. Bagaimanapun juga, penerbit bertanggung jawab untuk memikirkan so what yang bisa dilakukan para penulis sastra pop pasca trend novel-novel sebagaimana disebut di atas. Mereka semua toh kebanyakan adalah anak-anak muda yang punya energi berlebih dari sekadar menulis novel-novel yang kering kedalaman.
Barangkali perlu dipikirkan untuk memulai mengembangkan penerbitan buku-buku yang lebih serius, dan jauh mengakar pada sejarah dan keanekaragaman kita sendiri. Atau, mulai memikirkan bagaimana mengajak penulis novel-novel remaja, misalnya, untuk mengembangkan suatu jenis karya sastra yang berangkat dari sejarah lokal kita sendiri. Dalam hal ini, misalnya, Lingkar Tanah Lingkar Air dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dapat dijadikan contoh.
Atau alternatif lain: mengem-bangkan sebuah novel yang sedikit lebih serius dan tematik, baik dari aspek plot penceritaannya maupun materi cerita itu sendiri. Novel Tapak Sabda karya Fauz Noor dalam hal ini dapat dijadikan contoh. Tentunya, keberhasilan atas eksperimen ini bukan hanya akan melegendakan si penulisnya sendiri. Lebih dari itu, agar tradisi kepenulisan kesusastraan Indonesia, sebagaimana yang telah ditunjukkan di masa lalu, tidak terputus begitu saja.
Generasi muda kini memang punya banyak pilihan. Karena itu, alangkah bagusnya bila talenta yang telah mereka miliki dikembangkan lebih jauh lagi untuk menulis karya-karya yang lebih serius. Awalnya tentu saja tidak mudah buat mereka. Selain karena menulis serius memakan ener-gi dan waktu yang tak sedikit, juga butuh biaya dan ketekunan. Tapi tak mudah bukan berarti tak bisa. Mereka pasti bisa, asal terus berlatih dan memperkaya wawasan. Dan kami sebagai penerbit memiliki komitmen k
smoga2 minat antara penulis dan pembaca di Indonesia terus bertambah, jadi dapat memajukan bangsa kita.
ReplyDelete