Tantangan dan harapan NU menjelang satu abad
Wednesday, May 28, 2008
Add Comment
Judul Buku :NU dan Neoliberalisme,
Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad
Penulis :Nur Khalik Ridwan
Penerbit:LkiS, Yogyakarta
Cetakan:I, Februari, 2008
Tebal:xix + 204 halaman
Wak Rainah, petani etnis Osing di lereng Gunung Raung, menggugat tentang keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) yang kebijakannya selalu tidak memihak warga NU.Dia beranggapan bahwa sebagai warga Nahdliyin hak-haknya tidak diperhatikan oleh elit ulama NU. Elit-elit ulama NU sibuk dengan urusannya sendiri sehingga melupakan basis massa NU yang kebanyakan masih hidup dalam kemiskinan.
Adalah Nur Khalik Ridwan, penulis buku ”NU dan Neoliberalisme” mencoba mengkaji persoalan yang menghimpit dan membuat komunitas NU tidak berdaya dalam menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Menurutnya, NU menghadapi dua tantangan. Pertama, globalisasi neoliberalisme yang telah mengendalikan tatanan dunia. Kedua, munculnya kelompok-kelompok Islam non-NU yang gencar masuk ke daerah-daerah jantung NU, seperti Ikhawanul Muslimin (IM) yang mengambil bentuk PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir (HT), dan Jamaah Islamiyah (JI).
Globalisasi neoliberal adalah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini sedang diadopsi oleh sebagian besar negara-negara berkembang dan telah dipraktikan oleh negara-negara maju. Ideologi ini didukung oleh pilar-pilar badan dunia, seperti: Bank Dunia, IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organisation), dan perusahaan-perusahaan transnasional. Neoliberal ini memperjuangkan sepenuhnya pasar bebas dan tidak mempercayai perlunya ”pemerataan”. Globalisasi neoliberal ini merupakan bentuk lain dari globalisasi imperialisme Barat ke negara-negara belahan bumi selatan abad ke-18, 19, dan 20.
Imperialisme juga dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam, seperti Ikhawanul Muslimin (IM) yang mengambil bentuk PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir (HT), Salafiyah dan Jamaah Islamiyah (JI) yang mencoba menyebarkan ideologi dan gagasannya ke seluruh dunia muslim, termasuk ke Indonesia, bahkan ke jantung-jantung NU.
Dalam sejarahnya, NU selalu kalah dan terpinggirkan ketika menghadapi persoalan-persoalan sosial. Meskipun persoalan tersebut sudah direspon elit ulama NU, tetapi respon tersebut masih bersifat reaktif-pasif semata sehingga tidak heran jika hal itu selalu berakhir dengan kekalahan. Buku yang bertebal 204 halaman ini, mendorong perlunya NU menghadapi neoliberalisme secara kreatif-aktif. Masyarakat NU jelas perlu membedakan antara respon-respon yang bersifat reaktif pasif dan respon-respon yang bersifat kreatif aktif. Respons reaktif pasif hanya mencoba membenahi keadaan dengan cara-cara karikatif, dan menyerahkan perbaikan masyarakat NU kepada Tuhan dan kepada individu-individu NU. Respon jenis ini tidak dibimbing oleh cara pandang dan narasi yang mengikat kerja-kerja individu-individu dan kelompok sektoral di masyarakat NU dan hasilnya tentu saja adalah kekalahan. Padahal menjelang satu abad umur NU, nasib jamaahnya tidak beranjak naik dari sisi ekonomi, dan dalam era neoliberal justru akan terancam.
Sebaliknya, respon yang bersifat kreatif-aktif akan menjadi kerja-kerja sektoral di lingkungan NU yang diarahkan untuk memperjuangkan kerangka besar imajinasi masyarakat NU tentang Indonesia dan tata dunia yang adil. Selain itu, komunitas NU juga harus mempersiapkan pembaharuan internal dan melakukan persiapan menghadapi masa depan.
Di samping itu, buku ini ingin menjelaskan masalah dasar tentang apa itu neoliberal, bagaimana neoliberal bekerja, bagaimana ia diadopsi oleh negara, dan apa dampak dari kebijakan neoliberal terhadap negara juga warganya; menjelaskan tentang posisi-posisi masyarakat NU yang kini sedang dimainkan dalam hubungannya dengan neoliberal, modal-modal sosial yang dimiliki dan hambatan-hambatan yang menghadang masyarakat NU untuk merespon neoliberal, serta kerangka besar dan langkah taktis apa yang perlu diperjuangkan masyarakat NU menjelang usianya ke-100 (satu abad) bersamaan dengan semakin canggih dan ganasnya globalisasi neoliberal mencengkeram warga bangsa.
Empat modal
Dengan melihat dampak dari neoliberal yang akan semakin mengganas, menjadi penting bagi kita untuk melihat modal sosial kaum Nahdliyin. Dari pemahaman tentang modal sosial tersebut, kemudian perlu juga melihat sikap yang diambil oleh komunitas NU pada hari ini untuk mengetahui bagaimana masyarakat NU harus menegosiasikan modal-modal sosial dan nasib masa depannya.
Pentingnya melihat modal sosial yang dimiliki NU disebabkan karena masa depan yang serba kompleks dan hegemonik dalam tatanan neoliberal memerlukan sebuah respon yang tidak berporos pada kutipan-kutipan ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi, dan juga kutipan dari kitab kuning semata. Sebaliknya, dalam menghadapi neoliberal, diperlukan keberpihakan yang jelas terhadap basis massa NU, perlu ada kekuatan militan dengan memanfaatkan modal sosial yang ada, dan juga perlu kecerdikan dalam mengatasi hambatan yang ada.
Saat ini, kaum Nahdliyin setidaknya memiliki empat modal sosial yang cukup berarti untuk menatap masa depan. Pertama, adanya keyakinan dasar yang masih terpatri dalam Anggaran Dasar NU tentang perjuangan faham kerakyatan. Orientasi, keyakinan dan keberpihakan dalam masalah sosial untuk membela kepentingan rakyat, yang tercermin dalam pembelaan pada keadilan, pilar ekonomi rakyat, pemerataan pembangunan, dan mendirikan badan-badan usaha yang memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tidak dilarang syari’at agama Islam. Kedua, telah lahirnya elit-elit muda NU yang bisa memahami sosiologi imperialisme zaman ini, atau setidaknya mampu mengawinkan ajaran yang terkandung dalam kitab kuning dengan teori-teori perubahan sosial. Ketiga, memiliki jaringan yang cukup luas. Jaringan pesantren dan elit ulama, anak-anak muda, dan masyarakat basis bawah NU. Dan keempat, memiliki sejarah kemandirian dalam pergumulan sosial. Hal ini setidaknya telah dicontohkan dalam awal pendirian keberlangsungan pesantren di masa lalu. - Ghofar Al Bayana, aktif di Pustaka Arivia Solo
sumber:solopos
Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad
Penulis :Nur Khalik Ridwan
Penerbit:LkiS, Yogyakarta
Cetakan:I, Februari, 2008
Tebal:xix + 204 halaman
Wak Rainah, petani etnis Osing di lereng Gunung Raung, menggugat tentang keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) yang kebijakannya selalu tidak memihak warga NU.Dia beranggapan bahwa sebagai warga Nahdliyin hak-haknya tidak diperhatikan oleh elit ulama NU. Elit-elit ulama NU sibuk dengan urusannya sendiri sehingga melupakan basis massa NU yang kebanyakan masih hidup dalam kemiskinan.
Adalah Nur Khalik Ridwan, penulis buku ”NU dan Neoliberalisme” mencoba mengkaji persoalan yang menghimpit dan membuat komunitas NU tidak berdaya dalam menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Menurutnya, NU menghadapi dua tantangan. Pertama, globalisasi neoliberalisme yang telah mengendalikan tatanan dunia. Kedua, munculnya kelompok-kelompok Islam non-NU yang gencar masuk ke daerah-daerah jantung NU, seperti Ikhawanul Muslimin (IM) yang mengambil bentuk PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir (HT), dan Jamaah Islamiyah (JI).
Globalisasi neoliberal adalah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini sedang diadopsi oleh sebagian besar negara-negara berkembang dan telah dipraktikan oleh negara-negara maju. Ideologi ini didukung oleh pilar-pilar badan dunia, seperti: Bank Dunia, IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organisation), dan perusahaan-perusahaan transnasional. Neoliberal ini memperjuangkan sepenuhnya pasar bebas dan tidak mempercayai perlunya ”pemerataan”. Globalisasi neoliberal ini merupakan bentuk lain dari globalisasi imperialisme Barat ke negara-negara belahan bumi selatan abad ke-18, 19, dan 20.
Imperialisme juga dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam, seperti Ikhawanul Muslimin (IM) yang mengambil bentuk PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir (HT), Salafiyah dan Jamaah Islamiyah (JI) yang mencoba menyebarkan ideologi dan gagasannya ke seluruh dunia muslim, termasuk ke Indonesia, bahkan ke jantung-jantung NU.
Dalam sejarahnya, NU selalu kalah dan terpinggirkan ketika menghadapi persoalan-persoalan sosial. Meskipun persoalan tersebut sudah direspon elit ulama NU, tetapi respon tersebut masih bersifat reaktif-pasif semata sehingga tidak heran jika hal itu selalu berakhir dengan kekalahan. Buku yang bertebal 204 halaman ini, mendorong perlunya NU menghadapi neoliberalisme secara kreatif-aktif. Masyarakat NU jelas perlu membedakan antara respon-respon yang bersifat reaktif pasif dan respon-respon yang bersifat kreatif aktif. Respons reaktif pasif hanya mencoba membenahi keadaan dengan cara-cara karikatif, dan menyerahkan perbaikan masyarakat NU kepada Tuhan dan kepada individu-individu NU. Respon jenis ini tidak dibimbing oleh cara pandang dan narasi yang mengikat kerja-kerja individu-individu dan kelompok sektoral di masyarakat NU dan hasilnya tentu saja adalah kekalahan. Padahal menjelang satu abad umur NU, nasib jamaahnya tidak beranjak naik dari sisi ekonomi, dan dalam era neoliberal justru akan terancam.
Sebaliknya, respon yang bersifat kreatif-aktif akan menjadi kerja-kerja sektoral di lingkungan NU yang diarahkan untuk memperjuangkan kerangka besar imajinasi masyarakat NU tentang Indonesia dan tata dunia yang adil. Selain itu, komunitas NU juga harus mempersiapkan pembaharuan internal dan melakukan persiapan menghadapi masa depan.
Di samping itu, buku ini ingin menjelaskan masalah dasar tentang apa itu neoliberal, bagaimana neoliberal bekerja, bagaimana ia diadopsi oleh negara, dan apa dampak dari kebijakan neoliberal terhadap negara juga warganya; menjelaskan tentang posisi-posisi masyarakat NU yang kini sedang dimainkan dalam hubungannya dengan neoliberal, modal-modal sosial yang dimiliki dan hambatan-hambatan yang menghadang masyarakat NU untuk merespon neoliberal, serta kerangka besar dan langkah taktis apa yang perlu diperjuangkan masyarakat NU menjelang usianya ke-100 (satu abad) bersamaan dengan semakin canggih dan ganasnya globalisasi neoliberal mencengkeram warga bangsa.
Empat modal
Dengan melihat dampak dari neoliberal yang akan semakin mengganas, menjadi penting bagi kita untuk melihat modal sosial kaum Nahdliyin. Dari pemahaman tentang modal sosial tersebut, kemudian perlu juga melihat sikap yang diambil oleh komunitas NU pada hari ini untuk mengetahui bagaimana masyarakat NU harus menegosiasikan modal-modal sosial dan nasib masa depannya.
Pentingnya melihat modal sosial yang dimiliki NU disebabkan karena masa depan yang serba kompleks dan hegemonik dalam tatanan neoliberal memerlukan sebuah respon yang tidak berporos pada kutipan-kutipan ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi, dan juga kutipan dari kitab kuning semata. Sebaliknya, dalam menghadapi neoliberal, diperlukan keberpihakan yang jelas terhadap basis massa NU, perlu ada kekuatan militan dengan memanfaatkan modal sosial yang ada, dan juga perlu kecerdikan dalam mengatasi hambatan yang ada.
Saat ini, kaum Nahdliyin setidaknya memiliki empat modal sosial yang cukup berarti untuk menatap masa depan. Pertama, adanya keyakinan dasar yang masih terpatri dalam Anggaran Dasar NU tentang perjuangan faham kerakyatan. Orientasi, keyakinan dan keberpihakan dalam masalah sosial untuk membela kepentingan rakyat, yang tercermin dalam pembelaan pada keadilan, pilar ekonomi rakyat, pemerataan pembangunan, dan mendirikan badan-badan usaha yang memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tidak dilarang syari’at agama Islam. Kedua, telah lahirnya elit-elit muda NU yang bisa memahami sosiologi imperialisme zaman ini, atau setidaknya mampu mengawinkan ajaran yang terkandung dalam kitab kuning dengan teori-teori perubahan sosial. Ketiga, memiliki jaringan yang cukup luas. Jaringan pesantren dan elit ulama, anak-anak muda, dan masyarakat basis bawah NU. Dan keempat, memiliki sejarah kemandirian dalam pergumulan sosial. Hal ini setidaknya telah dicontohkan dalam awal pendirian keberlangsungan pesantren di masa lalu. - Ghofar Al Bayana, aktif di Pustaka Arivia Solo
sumber:solopos
0 Response to "Tantangan dan harapan NU menjelang satu abad"
Post a Comment
Ketentuan berkomentar :
- Dilarang menautkan link aktif maupun mempastekan link mati, karena komentar yang disertai promosi URL tidak akan pernah tampilkan
- Dilarang berkomentar yang Di Luar Topik (OOT), promosi, dan komentar-komentar yang anda tidak suka jika hal itu terjadi di blog anda sendiri, karena komentar seperti itu tidak akan pernah ditampilkan