Menera Jalan Baru Keagamaan
Saturday, June 7, 2008
3 Comments
Judul buku: Manusia Alquran; Jalan Ketiga Religiusitas di Indonesia
Penulis: Prof Dr Abdul Munir Mulkhan
Penerbit: Impulse, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 369 halaman
Peresensi: Ahmad Musthofa Haroen
Al-Quran bukan kitab yang bicara soal ketuhanan semata. Dalam banyak ayatnya, Tuhan justru hadir bersama fenomena kesemestaan. Artinya, Tuhan dipahami dengan membaca seluruh pertanda alam. Ketuhanan terpancar dari potensi ilahiah semua makhluknya. Di sini, sebagai penafsir, manusia dianugerahi kemampuan menalar dan merenung untuk menyingkap alam esoteris Al-Quran. Alam yang tak habis-habis ditimba samudera maknanya, tak juga berbatas meski dijelajah seluruh ayatnya.
Meski secara empiris, Al-Quran kini menjadi panduan keberagamaan umat Islam, namun secara hakiki, kitab suci ini membawa misi yang universal. Al-Quran ditujukan bagi rahmat semua umat dan dalam keseluruhan dimensi waktu. Sayangnya, universalitas tersebut kini masih sebatas potensi. Umat Islam belum mampu sepenuhnya menerjemahkannya dalam gagasan dan aksi nyata.
Mengapa hal itu terjadi? Seringkali visi kesemestaan Al-Quran direduksi dalam aliran pemikiran tertentu yang kemudian dipatenkan sebagai “kebenaran”. Ada begitu banyak model penafsiran dan pendekatan yang dilembagakan dari generasi ke generasi. Hal ini, pada gilirannya mempersempit ruang tak terbatas yang dimiliki Al-Quran.
Seringkali kita dapati beberapa penafsiran yang kebenarannya dianggap melebihi kebenaran Al-Quran sendiri. Padahal, penafsiran hanya sebentuk upaya mendekati kebenaran mutlak. Amat disayangkan jika yang terjadi justru sebaliknya, kebenaran mutlak digantikan fanatisme yang memutlakkan cara pandang sepihak.
Sebagai contoh, dari 6666 ayat yang termaktub, hanya sekitar 500-an ayat yang berbicara tentang hukum. Secara kuantitatif saja, mengasumsikan Al-Quran sebagai semata-mata kitab undang-undang yang legal-formal (kanonik) jelas merupakan pemahaman yang kurang tepat. Sementara pihak, bahkan meyakini Al-Quran sebagai kitab konstitusi yang menyeluruh (ad dustuur as syamil). Sebagai sebuah varian epistemologis, pandangan tersebut sah-sah saja diterima, namun setiap upaya untuk meletakkannya sebagai kebenaran mutlak harus ditolak.
Lewat buku ini, Prof Dr Abdul Munir Mulkhan berupaya memberikan kontribusi bagi umat untuk menggagas kembali visi dasar keberagamaan mereka. Ia ingin agar dogmatisme yang kini menjadi penyakit akut keberagamaan bisa disembuhkan dengan mengaca pada pengalaman kemanusiaan yang dipantulkan lewat setiap ayat Al-Quran.
Manusia Al-Quran
Dalam Also Sprach Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900) mendeklarasikan kematian Tuhan dan memunculkan sosok imajiner manusia super (ubermensch) sebagai penguasa dunia. Sesungguhnya, Nietzche sedang melancarkan kritik keras pada kegagalan fungsi profetik dan keilahian (baca: agama) dalam membangkitkan potensi individu pada zaman di mana Nietzche hidup. Lebih lanjut, kritik Nietzche itu akan lebih efektif dan bernilai jika dipahami sebagai sumbangan kritis bagi perilaku umat beragama.
Barangkali, Nietzche tak sempat belajar mengaji. Bahkan, mereka yang mempelajari Al-Quran sekalipun acapkali terjebak pada sikap untuk memonopoli kebenaran Al-Quran secara sepihak. Di sini, sesungguhnya dibutuhkan kritik ke dalam (otokritik) agar ruang pemikiran tetap terbuka. Kebenaran adalah sesuatu yang organik, elastis dan tidak jumud. Justru keterbukaan memungkinkan kebenaran muncul dalam wujud yang kreatif. Kebenaran hakiki tak bisa dimasukkan dalam “kandang epistemologis” tertentu.
Otokritik memberi peluang bagi manusia untuk terus menerus mempertanyakan kemanusiaannya. Merujuk pada ajaran teologis, Muhammad diyakini sebagai simbol manusia yang mencapai derajat kemanusiaan puncak. Kenabian dan kerasulannya adalah buah pemahaman yang mendalam tentang kemanusiaan yang berujung pada pemanusiaan manusia untuk rahmat semesta.
Ketika ia menyendiri di gua Hira pada pertengahan Ramadhan, apa yang dilakukannya adalah otokritik reflektif. Ia gundah dengan kehidupan masyarakat Mekah yang melanggengkan praktik penindasan bagi kaum perempuan, perbudakan yang tak manusiawi hingga kapitalisme yang hanya menguntungkan para saudagar. Ia berusaha keras mencari cara untuk mendobrak kebekuan itu.
Ketika Jibril mendatanginya untuk menyampaikan wahyu pertama, Muhammad didorong untuk memelihara sikap kritis dengan ayat iqra’ (bacalah dengan nama Tuhanmu!). Peristiwa 14 abad yang lalu itu menunjukkan bahwa daya dobrak sosial tak akan terjadi tanpa otokritik pada tahap awal mula. Hal itu tercermin di kemudian hari, tatkala Muhammad berhasil mengubah sistem kebudayaan masyarakat Mekah-Madinah menjadi lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Di sini, agama mengambil peran penting dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan egaliter.
Iman sendiri adalah dimensi paling medasar dalam keberagamaan seseorang. Lebih jauh, iman tak hanya soal pernyataan keyakinan terhadap Tuhan secara verbal, namun juga menyangkut daya kritik terhadap eksistensi manusia sendiri dan alam tempat dia hidup. Tanpa kritisisme, keimanan tak lebih dari cara pandang mekanistik semata, semacam robot yang tak punya cara pandang organik.
Iman yang beku akan melahirkan religiusitas yang beku pula. Kebekuan tersebut amat riskan menjadi alat pembenar bagi perilaku yang zalim. Fungsi agama kemudian berubah menjadi justifikasi tindakan-tindakan koruptif. Dosa para elit agama adalah saat mereka melakukan sejumlah rekayasa penafsiran untuk kepentingan-kepentingan politik yang pragmatis.
Wajar jika pada tataran ini, banyak intelektual merasakan perlunya pemisahan otoritas fungsi agama dan negara. Meminjam istilah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), agama adalah inspirasi dan bukan aspirasi. Inspirasi berarti agama menyumbang tegaknya nilai kemanusiaan dalam sistem sosio-kultural. Sementara, aspirasi berarti hasrat politis untuk memanipulasi agama menjadi sesuatu yang legal-formal, serba institusional dan, naga-naganya, menghendaki berdirinya negara agama.
Inilah yang membuat resah Profesor Munir saat ia merasa perlu menyebut jalan ketiga religiusitas di Indonesia. Jalan pertama adalah saat agama dikooptasi negara, sehingga ia menjadi stempel kebijakan semata. Sedang, jalan kedua ialah ketika agama masuk dalam ‘kandang kebenaran’ yang dilembagakan lewat afiliasi politik, kelompok dan organisasi yang memuja klaim kebenaran. Adapun jalan ketiga adalah ketika fungsi profetik dan keilahian dikembalikan pada otoritas personal untuk menghayati keberagamaan secara kritis dan terbuka.
Agaknya, jalan ketiga ini masih cukup terjal dilewati. Namun demikian, semangat reformis Muhammad akan menjadi daya dobrak untuk menggugat segala macam bentuk manipulasi yang zalim. Pertanyannya, cukup sadarkah umat Islam Indonesia untuk melakukannya?
Peresensi adalah aktivis Mbok Danang Center for Society, Yogyakarta
sumber:www.nu.or.id
Penulis: Prof Dr Abdul Munir Mulkhan
Penerbit: Impulse, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 369 halaman
Peresensi: Ahmad Musthofa Haroen
Al-Quran bukan kitab yang bicara soal ketuhanan semata. Dalam banyak ayatnya, Tuhan justru hadir bersama fenomena kesemestaan. Artinya, Tuhan dipahami dengan membaca seluruh pertanda alam. Ketuhanan terpancar dari potensi ilahiah semua makhluknya. Di sini, sebagai penafsir, manusia dianugerahi kemampuan menalar dan merenung untuk menyingkap alam esoteris Al-Quran. Alam yang tak habis-habis ditimba samudera maknanya, tak juga berbatas meski dijelajah seluruh ayatnya.
Meski secara empiris, Al-Quran kini menjadi panduan keberagamaan umat Islam, namun secara hakiki, kitab suci ini membawa misi yang universal. Al-Quran ditujukan bagi rahmat semua umat dan dalam keseluruhan dimensi waktu. Sayangnya, universalitas tersebut kini masih sebatas potensi. Umat Islam belum mampu sepenuhnya menerjemahkannya dalam gagasan dan aksi nyata.
Mengapa hal itu terjadi? Seringkali visi kesemestaan Al-Quran direduksi dalam aliran pemikiran tertentu yang kemudian dipatenkan sebagai “kebenaran”. Ada begitu banyak model penafsiran dan pendekatan yang dilembagakan dari generasi ke generasi. Hal ini, pada gilirannya mempersempit ruang tak terbatas yang dimiliki Al-Quran.
Seringkali kita dapati beberapa penafsiran yang kebenarannya dianggap melebihi kebenaran Al-Quran sendiri. Padahal, penafsiran hanya sebentuk upaya mendekati kebenaran mutlak. Amat disayangkan jika yang terjadi justru sebaliknya, kebenaran mutlak digantikan fanatisme yang memutlakkan cara pandang sepihak.
Sebagai contoh, dari 6666 ayat yang termaktub, hanya sekitar 500-an ayat yang berbicara tentang hukum. Secara kuantitatif saja, mengasumsikan Al-Quran sebagai semata-mata kitab undang-undang yang legal-formal (kanonik) jelas merupakan pemahaman yang kurang tepat. Sementara pihak, bahkan meyakini Al-Quran sebagai kitab konstitusi yang menyeluruh (ad dustuur as syamil). Sebagai sebuah varian epistemologis, pandangan tersebut sah-sah saja diterima, namun setiap upaya untuk meletakkannya sebagai kebenaran mutlak harus ditolak.
Lewat buku ini, Prof Dr Abdul Munir Mulkhan berupaya memberikan kontribusi bagi umat untuk menggagas kembali visi dasar keberagamaan mereka. Ia ingin agar dogmatisme yang kini menjadi penyakit akut keberagamaan bisa disembuhkan dengan mengaca pada pengalaman kemanusiaan yang dipantulkan lewat setiap ayat Al-Quran.
Manusia Al-Quran
Dalam Also Sprach Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900) mendeklarasikan kematian Tuhan dan memunculkan sosok imajiner manusia super (ubermensch) sebagai penguasa dunia. Sesungguhnya, Nietzche sedang melancarkan kritik keras pada kegagalan fungsi profetik dan keilahian (baca: agama) dalam membangkitkan potensi individu pada zaman di mana Nietzche hidup. Lebih lanjut, kritik Nietzche itu akan lebih efektif dan bernilai jika dipahami sebagai sumbangan kritis bagi perilaku umat beragama.
Barangkali, Nietzche tak sempat belajar mengaji. Bahkan, mereka yang mempelajari Al-Quran sekalipun acapkali terjebak pada sikap untuk memonopoli kebenaran Al-Quran secara sepihak. Di sini, sesungguhnya dibutuhkan kritik ke dalam (otokritik) agar ruang pemikiran tetap terbuka. Kebenaran adalah sesuatu yang organik, elastis dan tidak jumud. Justru keterbukaan memungkinkan kebenaran muncul dalam wujud yang kreatif. Kebenaran hakiki tak bisa dimasukkan dalam “kandang epistemologis” tertentu.
Otokritik memberi peluang bagi manusia untuk terus menerus mempertanyakan kemanusiaannya. Merujuk pada ajaran teologis, Muhammad diyakini sebagai simbol manusia yang mencapai derajat kemanusiaan puncak. Kenabian dan kerasulannya adalah buah pemahaman yang mendalam tentang kemanusiaan yang berujung pada pemanusiaan manusia untuk rahmat semesta.
Ketika ia menyendiri di gua Hira pada pertengahan Ramadhan, apa yang dilakukannya adalah otokritik reflektif. Ia gundah dengan kehidupan masyarakat Mekah yang melanggengkan praktik penindasan bagi kaum perempuan, perbudakan yang tak manusiawi hingga kapitalisme yang hanya menguntungkan para saudagar. Ia berusaha keras mencari cara untuk mendobrak kebekuan itu.
Ketika Jibril mendatanginya untuk menyampaikan wahyu pertama, Muhammad didorong untuk memelihara sikap kritis dengan ayat iqra’ (bacalah dengan nama Tuhanmu!). Peristiwa 14 abad yang lalu itu menunjukkan bahwa daya dobrak sosial tak akan terjadi tanpa otokritik pada tahap awal mula. Hal itu tercermin di kemudian hari, tatkala Muhammad berhasil mengubah sistem kebudayaan masyarakat Mekah-Madinah menjadi lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Di sini, agama mengambil peran penting dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan egaliter.
Iman sendiri adalah dimensi paling medasar dalam keberagamaan seseorang. Lebih jauh, iman tak hanya soal pernyataan keyakinan terhadap Tuhan secara verbal, namun juga menyangkut daya kritik terhadap eksistensi manusia sendiri dan alam tempat dia hidup. Tanpa kritisisme, keimanan tak lebih dari cara pandang mekanistik semata, semacam robot yang tak punya cara pandang organik.
Iman yang beku akan melahirkan religiusitas yang beku pula. Kebekuan tersebut amat riskan menjadi alat pembenar bagi perilaku yang zalim. Fungsi agama kemudian berubah menjadi justifikasi tindakan-tindakan koruptif. Dosa para elit agama adalah saat mereka melakukan sejumlah rekayasa penafsiran untuk kepentingan-kepentingan politik yang pragmatis.
Wajar jika pada tataran ini, banyak intelektual merasakan perlunya pemisahan otoritas fungsi agama dan negara. Meminjam istilah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), agama adalah inspirasi dan bukan aspirasi. Inspirasi berarti agama menyumbang tegaknya nilai kemanusiaan dalam sistem sosio-kultural. Sementara, aspirasi berarti hasrat politis untuk memanipulasi agama menjadi sesuatu yang legal-formal, serba institusional dan, naga-naganya, menghendaki berdirinya negara agama.
Inilah yang membuat resah Profesor Munir saat ia merasa perlu menyebut jalan ketiga religiusitas di Indonesia. Jalan pertama adalah saat agama dikooptasi negara, sehingga ia menjadi stempel kebijakan semata. Sedang, jalan kedua ialah ketika agama masuk dalam ‘kandang kebenaran’ yang dilembagakan lewat afiliasi politik, kelompok dan organisasi yang memuja klaim kebenaran. Adapun jalan ketiga adalah ketika fungsi profetik dan keilahian dikembalikan pada otoritas personal untuk menghayati keberagamaan secara kritis dan terbuka.
Agaknya, jalan ketiga ini masih cukup terjal dilewati. Namun demikian, semangat reformis Muhammad akan menjadi daya dobrak untuk menggugat segala macam bentuk manipulasi yang zalim. Pertanyannya, cukup sadarkah umat Islam Indonesia untuk melakukannya?
Peresensi adalah aktivis Mbok Danang Center for Society, Yogyakarta
sumber:www.nu.or.id
subhanallah memang Al-Qur'an itu, mas tukeran link yuk, kalo bisa sekalian kasih saya comment ya. makasih sebelumnya.
ReplyDeleteIndah memang hidup ini bila kita bisa memahami Islam secara utuh, tidak parsial seperti banyak kejadian sekarang ini. Adanya reduksi kesemestaan Al-Quran adalah tak lain karena banyak "Orang Kuat" yang salah dalam berucap dan kemudian dianggap sebagai suatu doktrin oleh suatu 'umat awam' yang HARUS dijalankan. Nice posting!
ReplyDeleteAl Quran memang pegangan kita supaya kita bisa selamat dunia dan akhirat.
ReplyDelete