Snow, Pamuk dan Kebangkitan Turki

Sumber: Riau Pos, Rabu, 18 Juni 2008

NAMANYA Kerim Alakusoglu, tetapi dia lebih suka memakai nama inisialnya, kependekan dari dua kata nama itu: Ka. Dua belas tahun lebih dia meninggalkan kota kelahirannya, Kars, karena pengasingan politik, dan kemudian kembali ke kota itu ketika wabah bunuh diri melanda gadis-gadis muda.

Ada yang hanya karena diputus oleh pacarnya, dan lebih ekstrim lagi ketika sekolah mengancam mengeluarkan mereka karena tak mau membuka jilbabnya sesuai peraturan nasional Turki tentang pendidikan yang melarang siswa berjilbab di institusi pendidikan. Sebuah peraturan berbau sekulerisme, sebuah ide yang digagas sang Bapak Turki, Mustafa Kemal Pasha, atau lebih dikenal sebagai Kemal Attaturk.



Wabah bunuh diri yang menjangkit di Kars; pemilihan kepala daerah yang menakutkan warga karena intimidasi dan kekerasan terjadi; plus keinginannya menganyam kembali memori masa lalunya, membuat Ka kembali ke Kars, sebuah kota yang selalu tampak seperti kapas dengan cuaca dingin dan badai salju yang bisa datang setiap saat. Ka adalah seorang wartawan, juga penyair. Setelah dua belas tahun tinggal di Frankfurt, Jerman, dan hidup dengan budaya sekuler khas Eropa, Ka kembali ke Istanbul dan bekerja di Harian Republican yang berhaluan sekuler.

Di Kars, dia kembali menemukan segalanya: kebudayaan yang telah lama ditinggalkannya, ingatan masa kecil yang indah, gadis masa lalunya dan ingatan-ingatan lainnya yang membuatnya merasa memiliki hati dan perasaan lebih nyaman ketimbang hidup dalam kebebasan ala Jerman (Eropa) yang kaku dan dingin. Namun, wabah bunuh diri, politik yang kotor (termasuk pembunuhan terhadap walikota), serta kemiskinan yang sangat, membuatnya sangat bersedih. Dia baru sadar, polemik Islam taat dan sekulerisme yang selama ini diperdebatkan, tidak lebih penting ketika persoalan-persoalan kemanusiaan itu muncul.

Bacalah kepedihan ini: Gadis itu, Teslime, menghabiskan malam terakhirnya dengan tanpa suara, menonton serial berjudul Marianna. Setelah menyeduh the dan menyajikannya untuk orang tuanya, dia masuk ke kamarnya, berwudu dan bersiap-siap menunaikan salat. Sesudah salat, dia bersujud di atas sajadahnya, sejenak menenggelamkan diri dalam doa dan renungan, lalu mengikatkan jilbabnya ke cantolan lampu dan menggantung diri...

***

KA adalah tokoh rekaan Orhan Pamuk, dan kisah-kisah itu ditulisnya dalam novel Snow (Kars dalam edisi Turki, yang berarti salju). Snow menjadi salah satu karya avan-garde Pamuk selain The White Castel, The Black Book, My Name is Red dan The New Life yang mengantarkannya meraih Nobel Sastra 2006.

Pamuk selalu menulis dalam novel-novelnya tentang tokoh sekuler kelas menengah, seperti halnya dirinya, yang merupakan anak yang lahir dari konsep sekulerisme yang digagas dan dikembangkan oleh Attaturk. Dia memandang dengan garis jelas: bahwa agama (Islam) tak bisa dan tak boleh disatukan dengan sebuah lembaga pemerintahan. Agama dan negara (politik) harus dipisah. Jika masyarakat, menurut Pamuk, masih menggenggam Islam dan menjadikan kitab-kitabnya sebagai panutan yang absolut, maka Turki tak akan bisa mengejar ketertinggalannya dari bangsa Eropa yang lain.

Pamuk dan para pendahulunya, termasuk Attaturk, adalah generasi yang secara kebudayaan tidak ingin disatukan dengan negara di benua Asia lainnya. Letak wilayah mereka yang berada di Asia, tidak menyurutkan keinginannya untuk menjadi "orang Eropa" dan Turki sebagai "bangsa Eropa". Maka, untuk "mengeropakan" bangsa itu, jalan satu-satunya adalah menafikan agama (Islam) dalam kehidupan mereka meski sebagian besar penduduknya beragama Islam. Maka larangan memakai jilbab di sekolah —yang sebenarnya ditentang banyak orang— adalah salah satu upaya untuk menjelaskan kepada dunia bahwa Turki adalah bagian dari kebebasan dan keunggulan Eropa.

Namun, Pamuk adalah pribadi yang kompleks. Selain mendukung sekulerisme, dia juga melakukan kritik pedas terhadap negaranya yang membuatnya diajukan ke pengadilan oleh pemerintah. Dia mengklaim Turki punya masa lalu hitam dengan pembunuhan besar-besaran terhadap orang Armenia, dan untuk itu harus minta maaf kepada dunia. Anehnya, seperti ditulisnya dalam Snow, tentara Armenia pernah menguasai Turki (termasuk di Kars) dan hidup beratus-ratus tahun di sana sebelum Dinasti Otoman (Utsmani) menguasai sebagian besar Eropa dan menjulangkan nama Turki.

***

KEINGINAN Turki untuk diakui sebagai bagian dari Eropa, juga diperlihatkan di olahraga, sepakbola salah satunya. Hingga kini, ada dua klub yang masuk dalam jajaran elit Eropa, yakni Galatasaray dan Fenerbache. Setelah Tanju Colak menjadi salah satu striker top Eropa saat membela Galatasaray dan tim nasional tahun 1980-an, nama-nama yang kemudian muncul seperti Hakan Sukur, Emre Belozoglu, Tugay Kerimoglu, Aplay Ozalan, saudara kembar Halil dan Hamit Altintop, Yildiray Basturk, Umit Davala, Abdullah Ercan, Arif Erdem, Hasan Sas, Ilhan Mansiz, Okan Buruk, Nihat Kahveci dan sekian nama lainnya mampu bermain di klub-klub besar Eropa.

Tahun 2008 ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah sepakbola Eropa, Fenerbache mampu lolos ke perempatfinal Liga Champions. Namun, prestasi tinggi yang diraih Turki adalah ketika lolos ke semifinal Piala Dunia 2002 Korea-Jepang. Hakan Sukur dkk kalah 0-1 dari Brazil, namun kemudian mengalahkan Korea Selatan dalam perebutan tempat ketiga dengan skor 3-2.

Keberhasilan pasukan Fatih Terim menyingkirkan Republik Ceko di penyisihan terakhir Grup A, adalah sebuah pembuktian bahwa Turki sekarang memang bisa lebih Eropa dari bangsa Eropa sendiri. Kemenangan 3-2 yang membuat Turki akan menantang Kroasia di perempatfinal, adalah sebuah pernyataan langsung yang membuktikan bahwa keemasan Turki di bawah Dinasti Otoman di masa lalu, telah dibuktikan di lapangan sepakbola.

Di masa kini, bukan hanya Orhan Pamuk yang meledakkan dunia lewat karya sastranya, tetapi juga keberhasilan para pemain Turki menyejajarkan dirinya dengan kekuatan-kekuatan hebat lainnya dalam sepakbola. Di Piala Dunia, Turki sudah terbukti, dan kini Terim —yang pernah mengani dua klub besar Italia, Fiorentina dan AC Milan— ingin melangkah lebih jauh, meski kekuatan dahsyat Kroasia akan menghadang. Dia juga tak akan peduli, meski hingga kini banyak orang Turki masih berada di persimpangan kebudayaan: sekuleritas- kemegahan Eropa di satu sisi, dan perjuangan syariat Islam di sisi lain seperti yang tergambar pada tokoh Ka dalam Snow. Tapi, sepakbola akan melintasi persimpangan itu...(hary b kori'un)



0 Response to "Snow, Pamuk dan Kebangkitan Turki"

Post a Comment

Ketentuan berkomentar :

- Dilarang menautkan link aktif maupun mempastekan link mati, karena komentar yang disertai promosi URL tidak akan pernah tampilkan

- Dilarang berkomentar yang Di Luar Topik (OOT), promosi, dan komentar-komentar yang anda tidak suka jika hal itu terjadi di blog anda sendiri, karena komentar seperti itu tidak akan pernah ditampilkan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel