Etika Kekuasaan Berbasis Kebudayaan
Saturday, August 2, 2008
Add Comment
Judul Buku : Neo-Patriotisme; Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa
Penulis : H.M Nasrudin Anshariy CH
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : xvii +222 Halaman
Realitas sosial-politik yang terjadi di dalam tubuh bangsa Indonesia, dewasa ini telah memasuki fase yang amat sangat mengkhawatirkan, mencapai titik kulminasi yang akut, sampai pada "batas nadir kehidupan".
Fase dimana segala macam cara merupakan hal yang lumrah dan halal adanya. Akibanya, berbagai macam kerusuhan sosial, patologi sosial dan lain sebagainya makin marak terjadi.
Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dan penggerogotan kekayaan negara semakin meraja lela. Sehingga hal ini akan menyebabkam masalah sosial yang berkepanjangan dan sulit menemukan titik temunya (problem solving).
Fenomena ini diperparah oleh pemerintah yang semakin menampakkan watak hewaniyahnya dalam memerintah. Pemerintah saat ini lebih banyak menjadikan kekuasaannya sebagai alat justifikasi untuk melakukan apa yang menjadi keingingannya.
Entah, apakah pola pemikiran Lord Acton yang berbunyi bahwa kekuasaan itu cendrung korup dan kekuasaan yang absolut benar-benar akan menjadikan pemimpinnya korup ataukah pendapat Nichollo Machiavelli yang berpandangan bahwa dalam kekuasaan dihalalkan melakukakan apa pun telah dijadikan paradigma berpikir dan dijadikan teladan oleh pemimpin bangsa saat ini? Yang jelas absolutisme kekuasaan dan hukum rimba (homo homini lupus) kekusaan memang benar terjadi di negara Indonesia.
Moral politik sudah tidak lagi dimiliki oleh para pemimpin bangsa, etika kekuasaan sudah tidak lagi nampak dalam diri penguasa. Sehingga yang terjadi adalah berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan carut-marutnya wajah perpolitikan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, Bangsa Indonesia terkesan tidak memiliki etika kekuasan dan moralitas memimpin sebuah bangsa, karena tercatat Indonesia sebagai negara terkorup no 3 dunia. Padahal para penguasa terdahulu telah mengajarkan dan mewariskan skearifan dan teladan yang berarti bagi generasi selanjutnya, seperti Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya Gajah Madha dan lain sebagainya.
Maka, melalui buku "Neo-Patriotisme; Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa" Nasrudin Anshariy, CH mencoba merefleksikan situasi carut-marut dan kacau balau yang menimpa bangsa Indonesia dengan semangat historisitas masa lalu dalam kepemimpinan kerajaan di Jawa.
Semangat etika atau moralitas kekuasaan yang berbasis kebudayaan, moralitas sosial, kesalehan politik, akan menjadi "untaian kebijaksanaan hidup" yang sarat makna dan berkaitan serta berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintah yang saat ini sangat amoral yang diwariskan para penguasa Jawa.
Disini, penulis mencoba menggali dan mengeksplorasi (kembali) khazanah nilai-nilai dan etika luhur kekusaan Jawa yang dahulu pernah diapliksikan oleh para pengusa Jawa dan memang terbukti menjadi "jurus andalan" dalam mencapai kesejahteraan dan keteraturan dalam kehidupan masyarakatnya baik bidang ekonomi, politik, budaya dan sosial.
Penulis mengeksplorasi kekayaan kearifan lokal masyarkat jawa dengan berbagai kepemimpinan yang terjadi pada masa kekuasaan raja-raja, seperti Majapahit, Mataram, Singasari dan lain sebagainya. Disamping itu, penulis juga menggali kekurangannya sebagai bahan refleksi dan acuan dalam bertindak dan memerintah sebuah kekauasaan dan negara.
Melihat bahwa moralitas dan etika kekuasaan akan menjadi amat penting dan dapat dijadikan kerangka acuan dalam proses penyelenggaraan pemerintah. Karena moral merupakan barometer dalam menilai integritas dan kemajuan sebuah bangsa, disamping itu moralitas dan etika kekuasaan yang berbasis kebudayaan merupakan sebuah konsepsi kepemimpinan (leadership) yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, bukan berasal dari proses legal-formal seperti yang terjadi saat ini.
Nilai luhur itu bisa kita gali dari khazanah kearifan lokal masyarakat Jawa, dimana nilai tersebut merupakan ekspresi kultural yang sarat dengan kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran.
Nilai keteladanan dan kebijaksaan, nilai kepahlawanan dan spiritualitas itu dapat kita realisasikan dan masih sangat relevan dengan kondisi sosio-politik bangsa Indonesia yang kacau balau, agar setiap kebijakan dan paradigma berpikirnya tidak kehilangan akar hisoris, berbudaya dan memanusiakan manusia, bukan lagi sebuah pola pikir yang hanya mementingkan kepentingan kelompok dan pribadi dan prinsip "hukum rimba kekuasaan".
Buku sederhana ini akan memberikan wacana baru dan pemahaman baru tentang bagaimana membangun semangat patriotisme, etika sosial, dan budaya politik yang bertumpu pada kearifan lokal seluruh komponen masyarakat, mengingat kemajemukan dan multikulturalisme yang ada di Indonesia merupakan pisau analisis yang dapat dijadikan karangaka acuan dalam bertindak.
Karena hanya dari situlah sebuah tatanan yang baik dan teratur dan berperspektif kemasyarakatan dapat tercapai. Melihat selama ini, kebijakan pemerintah masih banyak yang menyulitkan masyarakat kecil dan lebih memihak pada golongan atau kroni-kroninya. Sehingga yang terjadi adalah ketidakadilan yang terstruktur, kemiskinan absolut, patologi sosial dan berbagai tindakan dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Contoh kecil yang saat inu bisa kita jadikan barometer adalah kebijakan menaikkan harga BBM dan dana BLT.Maka, berbagai kasus "kriminal politik" yang melanda bangsa ini, harus menjadi kilas balik dalam menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme di dalam diri bangsa Indonesia karena menurut Mahatma Ghandi nasionalisme merupakan nilai-nilai kemanusiaan (my nationalism is humanity).
Nasionalisme dan patriotisme harus mampu menjadi barometer untuk melakukan transformasi kekuasaan yang berorientasi kerakyatan dengan tetap berpegang pada etika moral kekuasaan yang berbasis kebudayaan dan kearifan lokal seluruh entitas dan komponen mayarakat Indonesia.
Hadirnya buku ini akan dapat "mengejutkan" dan dapat dijadikan sumber ororitatif jika kita mampu menangkap dan mengkajinya lebih dalam lagi, karena nilai historis, sosiologis dan filosofis yang dikaji dalam buku ini memang telah mengakar kuat dalam kultur masyarakat.
Butir-butir kearifannya akan dapat dijadikan referensi bagi cendikiawan, legislatif, eksukutif dan yudikatif, mahasiswa dan aktifis sosial dan politik yang memiliki sensitifitas tinggi dalam memperjuangkan hak rakyatnya tanpa mengabaikan kewajiban pada negaranya.***
*) Juma' Darmapoetra adalah mahasiswa jurusan sejarah dan kebudayaan Islam, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
SUmber : www.jurnalnet.com
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : xvii +222 Halaman
Realitas sosial-politik yang terjadi di dalam tubuh bangsa Indonesia, dewasa ini telah memasuki fase yang amat sangat mengkhawatirkan, mencapai titik kulminasi yang akut, sampai pada "batas nadir kehidupan".
Fase dimana segala macam cara merupakan hal yang lumrah dan halal adanya. Akibanya, berbagai macam kerusuhan sosial, patologi sosial dan lain sebagainya makin marak terjadi.
Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dan penggerogotan kekayaan negara semakin meraja lela. Sehingga hal ini akan menyebabkam masalah sosial yang berkepanjangan dan sulit menemukan titik temunya (problem solving).
Fenomena ini diperparah oleh pemerintah yang semakin menampakkan watak hewaniyahnya dalam memerintah. Pemerintah saat ini lebih banyak menjadikan kekuasaannya sebagai alat justifikasi untuk melakukan apa yang menjadi keingingannya.
Entah, apakah pola pemikiran Lord Acton yang berbunyi bahwa kekuasaan itu cendrung korup dan kekuasaan yang absolut benar-benar akan menjadikan pemimpinnya korup ataukah pendapat Nichollo Machiavelli yang berpandangan bahwa dalam kekuasaan dihalalkan melakukakan apa pun telah dijadikan paradigma berpikir dan dijadikan teladan oleh pemimpin bangsa saat ini? Yang jelas absolutisme kekuasaan dan hukum rimba (homo homini lupus) kekusaan memang benar terjadi di negara Indonesia.
Moral politik sudah tidak lagi dimiliki oleh para pemimpin bangsa, etika kekuasaan sudah tidak lagi nampak dalam diri penguasa. Sehingga yang terjadi adalah berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan carut-marutnya wajah perpolitikan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, Bangsa Indonesia terkesan tidak memiliki etika kekuasan dan moralitas memimpin sebuah bangsa, karena tercatat Indonesia sebagai negara terkorup no 3 dunia. Padahal para penguasa terdahulu telah mengajarkan dan mewariskan skearifan dan teladan yang berarti bagi generasi selanjutnya, seperti Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya Gajah Madha dan lain sebagainya.
Maka, melalui buku "Neo-Patriotisme; Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa" Nasrudin Anshariy, CH mencoba merefleksikan situasi carut-marut dan kacau balau yang menimpa bangsa Indonesia dengan semangat historisitas masa lalu dalam kepemimpinan kerajaan di Jawa.
Semangat etika atau moralitas kekuasaan yang berbasis kebudayaan, moralitas sosial, kesalehan politik, akan menjadi "untaian kebijaksanaan hidup" yang sarat makna dan berkaitan serta berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintah yang saat ini sangat amoral yang diwariskan para penguasa Jawa.
Disini, penulis mencoba menggali dan mengeksplorasi (kembali) khazanah nilai-nilai dan etika luhur kekusaan Jawa yang dahulu pernah diapliksikan oleh para pengusa Jawa dan memang terbukti menjadi "jurus andalan" dalam mencapai kesejahteraan dan keteraturan dalam kehidupan masyarakatnya baik bidang ekonomi, politik, budaya dan sosial.
Penulis mengeksplorasi kekayaan kearifan lokal masyarkat jawa dengan berbagai kepemimpinan yang terjadi pada masa kekuasaan raja-raja, seperti Majapahit, Mataram, Singasari dan lain sebagainya. Disamping itu, penulis juga menggali kekurangannya sebagai bahan refleksi dan acuan dalam bertindak dan memerintah sebuah kekauasaan dan negara.
Melihat bahwa moralitas dan etika kekuasaan akan menjadi amat penting dan dapat dijadikan kerangka acuan dalam proses penyelenggaraan pemerintah. Karena moral merupakan barometer dalam menilai integritas dan kemajuan sebuah bangsa, disamping itu moralitas dan etika kekuasaan yang berbasis kebudayaan merupakan sebuah konsepsi kepemimpinan (leadership) yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, bukan berasal dari proses legal-formal seperti yang terjadi saat ini.
Nilai luhur itu bisa kita gali dari khazanah kearifan lokal masyarakat Jawa, dimana nilai tersebut merupakan ekspresi kultural yang sarat dengan kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran.
Nilai keteladanan dan kebijaksaan, nilai kepahlawanan dan spiritualitas itu dapat kita realisasikan dan masih sangat relevan dengan kondisi sosio-politik bangsa Indonesia yang kacau balau, agar setiap kebijakan dan paradigma berpikirnya tidak kehilangan akar hisoris, berbudaya dan memanusiakan manusia, bukan lagi sebuah pola pikir yang hanya mementingkan kepentingan kelompok dan pribadi dan prinsip "hukum rimba kekuasaan".
Buku sederhana ini akan memberikan wacana baru dan pemahaman baru tentang bagaimana membangun semangat patriotisme, etika sosial, dan budaya politik yang bertumpu pada kearifan lokal seluruh komponen masyarakat, mengingat kemajemukan dan multikulturalisme yang ada di Indonesia merupakan pisau analisis yang dapat dijadikan karangaka acuan dalam bertindak.
Karena hanya dari situlah sebuah tatanan yang baik dan teratur dan berperspektif kemasyarakatan dapat tercapai. Melihat selama ini, kebijakan pemerintah masih banyak yang menyulitkan masyarakat kecil dan lebih memihak pada golongan atau kroni-kroninya. Sehingga yang terjadi adalah ketidakadilan yang terstruktur, kemiskinan absolut, patologi sosial dan berbagai tindakan dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Contoh kecil yang saat inu bisa kita jadikan barometer adalah kebijakan menaikkan harga BBM dan dana BLT.Maka, berbagai kasus "kriminal politik" yang melanda bangsa ini, harus menjadi kilas balik dalam menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme di dalam diri bangsa Indonesia karena menurut Mahatma Ghandi nasionalisme merupakan nilai-nilai kemanusiaan (my nationalism is humanity).
Nasionalisme dan patriotisme harus mampu menjadi barometer untuk melakukan transformasi kekuasaan yang berorientasi kerakyatan dengan tetap berpegang pada etika moral kekuasaan yang berbasis kebudayaan dan kearifan lokal seluruh entitas dan komponen mayarakat Indonesia.
Hadirnya buku ini akan dapat "mengejutkan" dan dapat dijadikan sumber ororitatif jika kita mampu menangkap dan mengkajinya lebih dalam lagi, karena nilai historis, sosiologis dan filosofis yang dikaji dalam buku ini memang telah mengakar kuat dalam kultur masyarakat.
Butir-butir kearifannya akan dapat dijadikan referensi bagi cendikiawan, legislatif, eksukutif dan yudikatif, mahasiswa dan aktifis sosial dan politik yang memiliki sensitifitas tinggi dalam memperjuangkan hak rakyatnya tanpa mengabaikan kewajiban pada negaranya.***
*) Juma' Darmapoetra adalah mahasiswa jurusan sejarah dan kebudayaan Islam, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
SUmber : www.jurnalnet.com
0 Response to "Etika Kekuasaan Berbasis Kebudayaan"
Post a Comment
Ketentuan berkomentar :
- Dilarang menautkan link aktif maupun mempastekan link mati, karena komentar yang disertai promosi URL tidak akan pernah tampilkan
- Dilarang berkomentar yang Di Luar Topik (OOT), promosi, dan komentar-komentar yang anda tidak suka jika hal itu terjadi di blog anda sendiri, karena komentar seperti itu tidak akan pernah ditampilkan