KH. Tolchah Mansoer
Tuesday, July 7, 2009
Add Comment
Judul Buku : KH. MOH. TOLCHAH MANSOER ; Biografi Profesor NU Yang Terlupakan
Penulis : Caswiyono Rusydie Cw, Zainul Arifin, Fahsin M. Fa'al
Pengantar : Prof. Dr. KH. Moh. Tolhah Hasan & HM. Fajrul Falaakh, SH, MA, M.Sc.
Epilog : Idy Muzayyad, M.Si.
Tebal : xxxvi + 290 hlm.
Cetakan : I, Juni 2009
ISBN : 979-3381-32-9
Harga : Rp. 35.500,-
Membaca buku ini, yang pertama muncul di kepala saya adalah ingatan terhadap Jas Merah Soekarno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Melupakan sejarah berarti melupakan pijakan di atas bumi, mengingkari asal-usul sendiri. Melupakan sejarah tidak lain mencerabut kedirian sehingga membiarkan jati diri melayang-layang. Tanpa arah, tanpa tujuan. Sebab, masa lalu adalah sebuah tempat dimana seseorang dapat bercermin dan belajar: mengunduh kebijakan dan menghindari keteledoran. Bukan sekadar kenangan, masa lalu lebih merupakan suluh yang dapat menerangi jalan menuju ke masa depan. Membaca masa lalu berarti mengaca diri kita sekarang, sekaligus ‘meramal’ dan merencanakan diri kita di masa datang.
Penulis : Caswiyono Rusydie Cw, Zainul Arifin, Fahsin M. Fa'al
Pengantar : Prof. Dr. KH. Moh. Tolhah Hasan & HM. Fajrul Falaakh, SH, MA, M.Sc.
Epilog : Idy Muzayyad, M.Si.
Tebal : xxxvi + 290 hlm.
Cetakan : I, Juni 2009
ISBN : 979-3381-32-9
Harga : Rp. 35.500,-
Membaca buku ini, yang pertama muncul di kepala saya adalah ingatan terhadap Jas Merah Soekarno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Melupakan sejarah berarti melupakan pijakan di atas bumi, mengingkari asal-usul sendiri. Melupakan sejarah tidak lain mencerabut kedirian sehingga membiarkan jati diri melayang-layang. Tanpa arah, tanpa tujuan. Sebab, masa lalu adalah sebuah tempat dimana seseorang dapat bercermin dan belajar: mengunduh kebijakan dan menghindari keteledoran. Bukan sekadar kenangan, masa lalu lebih merupakan suluh yang dapat menerangi jalan menuju ke masa depan. Membaca masa lalu berarti mengaca diri kita sekarang, sekaligus ‘meramal’ dan merencanakan diri kita di masa datang.
Dalam konteks ini, “membaca” sosok Prof. Dr. KH. Moh. Tolchah Mansoer, SH. (1930-1986) menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, kegigihan, ketulusan, dan kerja keras setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi generasi kini. Tolchah yang berangkat sebagai orang biasa, karena kegigihan dan kesungguhannya, pada akhirnya menjadi orang yang luar biasa. Di tengah budaya instan yang kini semakin melanda, figur seperti Tolchah Mansoer tentu akan menjadi tonggak yang berkata bahwa kesuksesan selalu membutuhkan perasan keringat dan air mata.
Kedua, jika ungkapan “Orang besar dapat mati saat hidupnya; namun ia bangkit dan justru hidup abadi setelah kematiannya” dapat dibenarkan, mungkin Tolchah Mansoer telah membuktikannya. Semasa hidupnya, karena keteguhannya mempertahankan prinsip; karena suara lantangnya mengatakan kebenaran dan melontarkan kritik, ia sempat dikucilkan oleh penguasa. Kariernya dihambat. Perannya dipinggirkan. Namanya digembosi dan diupayakan agar dilupakan. Pendeknya, ia dimatikan. Akan tetapi, kemudian waktulah yang membuktikan bahwa kebesaran seseorang tidak dapat ditutup-tutupi. Setelah sang penguasa tumbang, harum namanya kian semerbak: ide-ide jeniusnya tentang hukum tata negara pun diadopsi dan diterapkan pasca reformasi (50 tahun setelah ia berpulang).
Kedua, jika ungkapan “Orang besar dapat mati saat hidupnya; namun ia bangkit dan justru hidup abadi setelah kematiannya” dapat dibenarkan, mungkin Tolchah Mansoer telah membuktikannya. Semasa hidupnya, karena keteguhannya mempertahankan prinsip; karena suara lantangnya mengatakan kebenaran dan melontarkan kritik, ia sempat dikucilkan oleh penguasa. Kariernya dihambat. Perannya dipinggirkan. Namanya digembosi dan diupayakan agar dilupakan. Pendeknya, ia dimatikan. Akan tetapi, kemudian waktulah yang membuktikan bahwa kebesaran seseorang tidak dapat ditutup-tutupi. Setelah sang penguasa tumbang, harum namanya kian semerbak: ide-ide jeniusnya tentang hukum tata negara pun diadopsi dan diterapkan pasca reformasi (50 tahun setelah ia berpulang).
Ketiga, harus diakui bahwa sebagian kalangan sering kali masih mempertentangkan ilmu umum dengan ilmu agama sebagai dua kutub yang saling bertolak belakang. Keyakinan yang semacam ini tidak lain adalah sebuah mitos yang tak beralasan. Setidaknya, hal itu terbukti pada diri seorang Tolchah. Ia adalah pakar hukum tata negara terkemuka pada masanya, sekaligus seorang kiai mumpuni yang berwibawa. Bahkan, ia mampu memadukan kedua bidang itu—ilmu agama dan ilmu umum—dalam karya-karyanya, sesuatu yang langka pada zamanya.
Keempat, hasrat umat Islam untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dapat dikatakan sebagai ‘hasrat laten’. Terlepas ada tidaknya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menunggangi mereka, sejarah telah membuktikan adanya usaha beberapa pihak untuk mewujudkan hasrat tersebut. Di era kontemporer ini, penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta beberapa kali juga diangkat kembali menjadi issu yang hangat. Jika kita ‘membaca’ Tolchah, sang pakar hukum tata negara yang kiai ini, tentu hasrat semacam itu menjadi patut untuk disayangkan.
Oleh karena itu, buku KH. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang Terlupakan ini menjadi sangat penting. Melalui buku ini, seseorang bukan hanya dapat ‘membaca’ Tolchah secara lebih komprehensif, melainkan juga membaca dirinya sendiri. Sebab, membaca perjalanan hidupnya berarti memetik inspirasi; membaca sepak terjangnya bermakna menuai spirit; dan membaca percik pemikirannya adalah mencerahkan. Lebih dari itu semua, buku ini adalah sebuah usaha melawan alpa: sebuah upaya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah!
0 Response to "KH. Tolchah Mansoer"
Post a Comment
Ketentuan berkomentar :
- Dilarang menautkan link aktif maupun mempastekan link mati, karena komentar yang disertai promosi URL tidak akan pernah tampilkan
- Dilarang berkomentar yang Di Luar Topik (OOT), promosi, dan komentar-komentar yang anda tidak suka jika hal itu terjadi di blog anda sendiri, karena komentar seperti itu tidak akan pernah ditampilkan